Mbah Surip dan WS Rendra

 

Mbah  Surip dan WS Rendra                                                     

 

Ketika defisit kejujuran alam Pemilu dan defisit kompetensi KPU di gelar di Mahkamah Konstitusi, dan Ketika defisit integritas Bagai virus babi menyerang system imunitas KPK, Mbah Surip dan WS Rendra menyelinap pergi dari panggung diskursus publik.

Padahal sebagai  “suara liyan”, sebagai alterity, sebagai – katakanlah—“suara hati bangsa”, fungsi mereka justru sedang amat dibutuhkan dalam diskursus publik kita.

 

Alteritas.

                Sebagai figur publik, Mbah Surip dan WS Rendra telah menyumbangkan “ suara lain” atau alteritas, yang terkesan “urakan” dan “bohemian” bagi kehidupan  dan aspirasi normal rata rata manusia Indonesia lepas dari  sikap one in one yang banal. Alteritas ini memampukan kita mengkritisi hidup “yang normal”. Yang familiar atau praktik business as usual. Alteritas ini memungkinkan public  memasuki “ monolog yang dialogis” atau situasi two in one dalam kehidupan batiniah kita, yang dalam Bahasa sederhana dieja sebagai “hati Nurani” atau “suara hati” (Arendt,1978:193).

Selain dari sepak terjang Mbah Surip dan WS Rendra,”monolog yang dialogis” pada tataran sosial dan politik semacam itu juga dapat dilihat pada buku buku harian Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, dan Pramoedya Ananta Toer. Pada tataran religious, konsep “manusia soliter” dalam buku Alfred North Whitehead,Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, tampaknya juga berhubungan erat dengan kemampuan mengambil jarak dari “yang normal” ini, (Whitehead/Nugroho,2009:7,26).  Alteritas dalam “monolog yang dialogis” yang dialami para manusia soliter tak lain adalah apa yang oleh Levinas disebut “Liyan yang Mutlak”. Pengalaman alteritas dlm hati Nurani  para manusia soliter itu telah membawa perkembangan dari “agama suku” ke “agama universal”.

Cara Mbah Surip mengambil jarak dari “yang normal” memang menarik, terlepas dari apakah itu disengaja atau tidak. Rambut dibiarkan gimbal, penutup kepala berwarna-warni,pakaian sekenanya, kemana-mana naik ojek, barang tentu disengaja. Namun, yang lebih menrik ialah bagaimana Mbah Surip mencemoohkan pembedaan antara “fakta” dan”fiksi”, antara”dongeng” dan “kenyataan”, antara”bercanda” dan”bersungguh-sungguh”. Menghadapi orang macam Mbah Surip memang tak lagi penting untuk melakukan cek dan ri cek, cover both side, dan rumus-rumus semacam. Maka,jadilah dongeng Mbah Surip sebagai fakta dan fakta Mbah Surip sebagai dongeng.

Baca saja berita dan liputan tentang Riwayat hidupnya dari berbagai sumber. Mbah Surip sebagai fakta yang diacu oleh berita-berita itu seakan licin seperti belut sehingga data kehidupannya pun seperti simulacrum, realitasnya seperti hiper realitas. Mbah Surip, seperti mencemooh kita, bahwa apay g kita anggap sebagai realitas politik sebenarnya hanya reality show dlm arti permainan citra dan emosi, dan apa yang kita cari sebenarnya bukan berita atau informasi, tetapi infotainment.

 

Retorika cemooh

Perbedaan antara orang macam Mbah Surip dan para “pembohong public” yang juga banyak hadir dalam diskursus public kita ialah padaapa yg disebut Rorty “ Retorika cemooh” ( rhetoric of mockery) (Rorty,1989). Mbah Surip dan WS Rendra mewakafkan hidupnya untuk secara sadar mencemooh dan menertawakan diri dan Masyarakat dimana mereka tinggal. Bacalah sajak-sajak Rendra,”Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta” atau “Nyanyian Angsa”, di mana Rendra mencemooh para politisi dan agamawan Indonesia yang biasa berpidato dan berkhotbah tetapi tidak biasa walk the talk.

Dengarkan sekali lagi lagu “Tak gendong”, yang mencemooh kelas yang naik pesawat, maupun kelas yang naik ojek, sambil menawarkan “gendongan” yang lebih mengacu pada hubungan interpersonal yang akrab dan otentik.  Mereka yang menggunakan “ Tak Gendong” sebagai RBT (RingBack Tone) tampaknya mau mengompensasi  hilangnya proses tatap muka dlm komunikasi telepon seluler.

Sebaliknya orang-orang yang melakukan “kebohongan publik” mempraktikkan apa yang oleh Rorty disebut rhetoric of conviction. Jika dirumuskan dengan cara Hannah Arendt,maka dlm retorika penuh keyakinan ini, manusia tak lagi  dibayang-bayangi alteritas. Alteritas dalam batin telah disisihkan, tidak dipedulikan,bahkan kadang dimatikan secara sistematis. Dapat diduga,usaha mematikan alteritas batin secara sistematis ini terjadi pada diri para teroris, terutama para pelaku bom bunuh diri.

Tidak hanya para “pembohong publik” yang melakukan retorika penuh keyakinan. Orang -orang biasa dan tokoh-tokoh public lazimnya mempraktikkan retorika ini juga. Kampanye politik yang baru lalu bertaburan dengan retorika keyakinan. Para motivator, komandan militer, penginjil, pendakwah, pemasar dan pengiklan berbuih-buih mengucapkan retorika keyakinan. Mungkin dapat dikatakan, cara hidup kita yang “normal” mengisyaratkan  adanya retorika keyakinan itu, supaya hidup ini dapat memiliki keteraturan, supaya kita dapat mengamalkan dan menghayati “ yang normal”, bukan dalam arti “rata rata”, tetapi lebih dalam arti “memenuhi standar” (norm) keutamaan dan keunggulan (Ricoeur:2007).

Dalam hal itupun , kita tetap perlu alteritas batin dan alteritas publik. Pertama, agar kita tetap memiliki Nurani dan tidak jatuh dalam banalitas one in one.

Kedua, agar kita dapat menghargai pluralitas sosial atau “liyan-liyan” dlm Masyarakat. Semoga Mbah Soerip dan Mas Willie tetap hidup. I love you full

 

 

Sumber                : KOMPAS, Sabtu, 8 Agustus 2009.

Kolom                   : Opini, halaman :6

Penulis                 : ALOIS A NUGROHO.

·         Guru Besar Filsafat di Fakultas Ilmu Administrasi Unika Indonesia Atma Jaya.

·         Mengajar di PascaSarjana Sekolah Tinggi Filasafat Driyarkara

·         Mengajar di PascaSarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Komentar

Postingan Populer