REPUBLIK MUDA

 

Generasi  baru melihat pemimpin tua, dari pengalaman yang ada , tak mungkin lagi lebih berprestasi , progresif, dan inovatif menyelesaikan masalah baru Indonesia. Karakter konservatif ,regresif bahkan anti demokrasi para pemimpin tua membuat cemas  Republik Indonesia yang baru ini.

Kegentingan friksi generasi ini menyebabkan keseimbangan politik,social, ekonomi dan budaya kita berada dalam kondisi kesetimbangan dalam ketidaksetimbangan (inequilibrium’s equilibrium) sepanjang 2008-2014 nanti.

Kata Arnold Toynbee, ada tantangan baru tentu harus ada respons baru. Ada dunia baru yang harus dihadapi dengan pengalaman baru oleh generasi baru. Demokrasi adalah dunia baru Indonesia selama 10 tahun terakhir, kompleksitasnya membuat “sakit kepala” generasi lama yg hidup dg pengalaman antidemokrasi. Karena itu wakil presiden   Jusuf Kalla sakit kepala dan bertanya-tanya ttg efektifitas demokrasi untuk kesejahteraan. Generasi seangkatannya juga cemas ,bahkan mengutuk  demokrasi  dg istilah “keblablasan”,”anarkis”,”westernisasi”, dan sebagainya. Semua ini meyakinkan kita bahwa “Indonesia on the move”, istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,yg membutuhkan pengalaman baru untuk menyelesaikan kompleksitas tantangannya. Dunia baru,pengalaman baru dan tantangan baru bagi kepemimpinan nasional baru.

Namun, bila terjadi regenerasi kepemimpinan nasional,dari generasi pertama pascareformasi seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (58), Wapres Jusuf Kalla (65), Megawati Soekarnoputri (60), Abdurrahman Wahid (67), Amien Rais (63), Akbar Tanjung (62), Wiranto (60), Sutiyoso (63), dan Sultan Hamengku Bubwono X (61), kepada generasi  kedua berusia 40 – 50 tahun,apakah para Republikien Muda, apakah yg membedakan kedua generasi itu dlm visi,kualitas,dan inovasi menghadapi kompleksitas tantangan baru?

KEPEMIMPINAN  LOKAL

Bila rakyat lapar hadapi penyebab kelaparannya, bila rakyat miskin hadapi kemiskinannya, bila rakyat sakit hadapi segala penyakitnya. Mereka bergulat langsung dengan masalah rakyat agar mimpi kesejahteraan menjadi nyata,bukan sekadar igauan penarik massa pemilih direct problem solver, begitulah ciri umum pemimpin local,bupati atau walikota, yang dianggap berhasil, membawa kesesejahteraan bagi rakyatnya, kata seorang pembicara. Bahkan, pembicara lain yg kebetulan seorang kepala daerah memoles berbagai kebijakan kesejahteraan propublik yg menempatkan perempuan sbg tulang punggungnya.” Perempuan memberikan sentuhan humanisme pada keputusan public”.

Ditengah hantaman budaya patriarki yg tak kunjung usai, ternyata isu kesejahteraan rakyat lebih efektif di tangan kepemimpinan politik perempuan, ramuan baru pendekatan  intelektual dan emosional, bukan sekadar pendekatan teknis dan birokratis. Begitu pula dg pembicara lain yg memimpin pemerintahan sebuah kota di Jawa Tengah, baginya tujuan menyejahterkan  rakyat berarti pemerintah yg melayani rakyat, bukan dilayani rakyat.

Komentar

Postingan Populer